Melihat perkembangan organisasi PSHT dalam satu dekade terakhir, banyak sekali i’tibar dan pembelajaran yang mestinya bisa kita peroleh. Dalam dua dasawarsa atau 20 tahun terakhir, PSHT telah berkembang pesat secara kuantitas jumlah anggotanya, baik itu di dalam negeri maupun luar negeri. Namun pesatnya perkembangan jumlah anggota tersebut belum dibarengi dengan meningkatnya prestasi dan kualitas diri (keluhuran budi).
Prestasi kita boleh dikatakan belum memenuhi ekspektasi sesuai dengan harapan kita semua bahwa Setia Hati Terate harus menjadi contoh pencak silat umumnya. Kita memang patut berbangga karena pada ajang gelaran Asian Games 2018, PSHT menyumbang dua medali emas dari 14 emas yang diperoleh kontingen pencak silat Indonesia. Namun demikian baik prestasi secara nasional maupun internasional, prestasi PSHT masih jalan stagnan dan belum menunjukkan tanda-tanda ke arah yang menjanjikan. Kita masih akan lihat rekapitulasi data terakhir atlet PSHT yang berlaga di gelaran PON XX Papua Oktober mendatang.
Sementara itu dari aspek kualitas diri (perilaku budi luhur), kalau boleh jujur juga belum menunjukkan tajinya sebagai sebuah organisasi besar dengan jumlah anggota jutaan. Kita terus terlena dalam pusaran semangat mencetak dan memproduksi anggota baru, namun tidak cerdas dan waspada dalam mendidik dan memberikan bekal yang cukup bagi anggota baru tersebut. Sehingga mereka benar-benar siap terjun berinteraksi secara sosial di tengah komunitas masyarakat. Kita juga belum memulai membekali mereka nilai-nilai yang unggul agar bisa berkompetisi dan berkontestasi dalam dunia persilatan dan sosial sekaligus.
Oleh karena itu, ke depan, Setia Hati Terate (SHT) sudah seharusnya tak lagi berorientasi pada jumlah nominal dan hitungan angka-angka. Jangan lagi bangga dengan jumlah warga yang disahkan. Seribu, dua ribu, tiga ribu atau bahkan tujuh ribu sekalipun. Apakah kita mau tanggungjawab kalau ternyata di kemudian hari jumlah puluhan ribu tersebut justru akan membuat malu dan menodai marwah organisasi dan pelatihnya (anak polah bapa kepradah).
Sudah saatnya kita semua fokus pada pola dan sistem pendidikan-latihan yang menghasilkan anggota-anggota yang punya kualifikasi jelas, khususnya soal karakter dan kepribadiannya. Terlalu banyak anggota/Warga SHT yang kita wisuda/sahkan tapi nol besar (the big zero) dalam hal nilai-nilai ilahiah (ketauhidan), kepribadian (personal behaviour), keluhuran budi dan akhlaqul karimahnya. Hal inilah— yang selama ini saya istilahkan dengan—memicu lahirnya paradoks-paradoks dan kontra-produktif dengan tujuan mendasar-fundamental organisasi ini didirikan oleh para founding fathers kita.
Berbagai fenomena di atas harus menjadi evaluasi bersama sekaligus keprihatinan mendalam, perenungan bersama dan refleksi kritis/muhasabah untuk kita semua. Banyak sekali kita mendengar kabar/berita/isu terkait Warga SHT kita membuat ulah yang menodai nilai-nilai luhur organisasi. Dus, kita mensikapinya berlebihan, bela pati, satu bagian tubuh (di)sakit(i), maka bagian tubuh lainnya juga merasakan sakitnya, tanpa terlebih dahulu, melakukan verifikasi siapa salah siapa benar, semua dihantam kromo (digeneralisir).
Terkadang peran kita bukan sebagai pengadil yang bijak, tapi justru menjadi provokator. Di sinilah kadang kita keliru dalam mensikapi suatu persoalan/kasus. Ada yang hilang peran-peran memberikan pembelajaran dan hikmah di balik setiap masalah yang muncul.
Jadi, dengan kata lain, kita selama ini masih getol/semangat melahirkan dan memproduksi generasi-generasi yang sarat masalah, belum memproduksi generasi-generasi unggul/berkualitas baik secara fisik (lahir) maupun spiritual (batiniah). Generasi yang kita lahirkan tak jarang justru menjadi musuh dan mesin penghancur terhadap organisasi itu sendiri. Kita tak pernah mau belajar dari setiap peristiwa dan kejadian.
Kita juga lupa bahwa musuh kita itu bukan sesuatu kekuatan dari luar, tapi musuh kita sesungguhnya adalah nafsu “ke-aku-an” yang ada dalam diri sanubari kita sendiri. Mari kita sama-sama menata kembali organisasi ini, meluruskan kembali yang bengkok, berpikir strategis-taktis ke depan, merencanakan sesuatu yang besar untuk kemaslahatan organisasi ini agar bisa lebih baik dan bermanfaat untuk orang banyak. Wallau a’lam bish-shawwab.
Salam hangat Persaudaraan,
Oleh: M. Agus Susilo
Tinggalkan Balasan